Select a date and time slot to book an Appointment
Date Of Appointment
Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsioleh : H. Ahmad Drajad, SH. MH (Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Tipikor Medan) A. Kedudukan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tidak diragukan lagi bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang tercela dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat dan bangsa Indonesia. Korupsi merupakan suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan ekonomi dan mengabaikan moral, oleh karena itu harus segera diberantas. Usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia. Di tengah situasi perekonomian nasional yang buruk seperti sekarang ini, tuntutan masyarakat agar berbagai bentuk Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme segera diberantas, makin meningkat ganasnya. Segala bentuk kebocoran dan pemborosan anggaran-anggaran harus segera dicegah dan ditanggulangi. Untuk itulah para pengelola pembangunan harus hati-hati dalam melaksanakan anggaran negara agar tidak ada kebocoran dalam bentuk korupsi. Upaya terbaru yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi adalah dengan lahirnya UU No. 31 tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan baru yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Pada hakekatnya manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum dan pergaulan hukum dikenal dengan istilah subjek hukum (subjektum juris). Subjek hukum merupakan salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang dipelajari oleh teori hukum, karena itu pertanyaan apa itu subjek hukum juga merupakan persoalan teori hukum yaitu teori dari hukum positif, artinya teori yang hanya dapat diuraikan bertalian dengan hukum positif. Teori hukum tersebut tidak menghendaki penggambaran tentang isi dari sesuatu hukum positif dan juga tidak mempersoalkan dasar dari isi hukum itu tetapi berhasrat memahami bentuk-bentuknya, kemudian membuat gambaran tentang fakta-fakta dan unsur-unsur yang akan dijadikan bahan oleh hukum dan ilmu pengetahuannya untuk membangun sistemnya. Manusia adalah orang (persoon) dalam hukum. Kata-kata ini mengandung dua pengertian, yaitu: Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas hak-hak subjektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum objektif. Di sini perkataan “manusia” bagi hukum mempunyai nilai etis. Yang menjadi persoalan ialah suatu sollen dan juga dinyatakan sebagai suatu asas hukum.Dalam hukum positif manusia merupakan persoon adalah subjek hukum, mempunyai wewenang. Dalil ini mengandung petunjuk di mana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan demikian dinyatakan suatu kategori hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa pertama, subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum objektif dan yang kedua, subjek hukum dalam hukum positif itu adalah orang (persoon). Dianutnya pendirian bahwa manusia yang menjadi subjek hukum pidana dapat diketahui dari frasa yang digunakan dalam KUHP Belanda itu berupa hij die dan yang akhirnya juga tertulis demikian di dalam KUHP Indonesia. Frasa tersebut akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan frasa “barang siapa” atau “siapa pun”. “Barang siapa” mempunyai arti “siapa pun”. Dalam Bahasa Indonesia, kata “siapa” merujuk kepada “manusia”, sehingga dapat diartikan “barang siapa” atau “siapa pun” berarti “setiap manusia”. Selain digunakan istilah “barang siapa”, digunakan juga berbagai istilah lain yang merujuk kepada manusia, yaitu “setiap orang”. Berdasarkan uraian tersebut diatas timbul pertanyaan : apakah pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum termasuk pertanggungjawaban subjek hukum setiap orang sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?. Suatu kemajuan dari UU-TPK Nomor 31 Tahun 1999 dibandingkan dengan UU-TPK 1971 ialah, bahwa subyek tindak pidana tidak hanya”orang perseorangan” tetapi juga “korporasi”. Yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (pasal 1 ke-1 UU-TPK 1999). Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi konggres PBB mengenai The Prevention of rime and the Treatment of Of- fenders , antara lain: Dalam rekomendasi Konggres PBB ke-8/ 1990 ditegaskan, agar ada tindakan terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi”.Dalam dokumen Konggres PBB ke-9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan sebagai berikut: “Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yangtidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/istimewa, antara lain: a. Memberi kontrak; b. Mempercepat/memperlancar ijin; c. Membuat pengecualian-pengecualian atau menutup mata terhadap pelanmggaran-pelanggaran peraturan. Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subyek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktifitas usaha. Pada mayarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untukmengadakan kerjasama, antara lain adalah terhimpun modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan seorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi resiko kerugian. Proses modernisasi yang berlangsung dinegeri ini, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan telah terjadi perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan perdagangan. Perubahan demikian tidak hanya perubahan mengenaimodal kegiatan usaha yang dijalankan secara perorangan menjadi usaha bersama, tetapi juga perubahan orientasi, nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku masyarakat menjalankan kegiatan usaha. Perbedaan dan perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri adalah: Kebutuhan modal dalam jumlah yang besar , sehingga menghasilkan usaha-usaha mengumpulkan dana masyarakat secara insentif.Perubahan dalam pemilikan yang dapat dilihay ke dalam kekuasaan dan hak-hak yang tidak tampak seperti deposito, saham dan surat berharga lainnya;Kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar (internasional);Terjadinya pemindahan pemilikan, yakni dari milik pribadi ke pemilikan korporasi;Korporasi semakin meluas dan berkuasa dalam kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan. Seiring perkembangan dalam masyarakat tersebut, ternyata badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan dan di dalam undang-undang tertentu pidana yang diberikan adalah berupa (reele execute) harta kekayaannya. Sekalipun dalam Pasal 59 dan 169 KUHP ada ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, tetapi kesan pasal tersebut ternyata tertuju kepada manusianya, yaitu siapa yang ikut dalam perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana. Jadi sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP saja yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya korporasi atau badan hukum, yaitu salah satunya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun dalam pengaturannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 digunakan dalam rumusan unsur pasal sebagai subjek hukumnya adalah “setiap orang” (tidak ada kata korporasi di dalamnya) seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara nelawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”, namun dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”. Pengertian “korporasi” dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1, yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Jadi subjek hukum “setiap orang” sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak hanya manusia atau orang perorangan saja akan tetapi juga termasuk korporasi. Dicantumkannya korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yaitu manusia (alamiah) akan memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas dan efektif. Dengan dianutnya paham korporasi sebagai subyek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility). B. Tindak Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Korporasi Salah satu kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kemudahan, keuntungan, dan laba yang lebih besar, sehingga dapat mengefisienkan biaya atau modal yang dikeluarkan oleh korporasi, baik itu modal tenaga kerja, waktu, tempat dan dana. Tujuan akhirnya adalah korporasi baik itu sekumpulan atau perorangan akan mendapatkan pengahasilan lebih jika dibandingkan dengan tanpa melakukan tindak pidana korupsi. Tentunya, jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan kerugian baik bagi negara, lingkungan maupun masyarakat dimana suatu korporasi tersebut berada. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terjadi secara terus menerus sehingga sudah sepantas tindak pidana harus diberikan kepada korporasi yang telah melakukan tindakan pelanggaran tersebut. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari masalah pidana dan pemidanaan, oleh karena suatu tindak pidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut dari hal itu adalah penjatuhan pidana. Dasar pertimbangan pemidanaan korporasi menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa : “jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti”. Dengan demikian dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata bahwa pemidanaan korporasi didasarkan kepada tujuan pemidanaan baik yang bersifat preventif (khusus) dan tindakan represif. Korporasi dijadikan subjek hukum pidana sama dengan manusia alamiah, namun perlu diingat bahwa tidak semua tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi dan sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP tidak semuanya dapat dikenakan pada korporasi. Yang mungkin dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda. Selain pidana denda juga terhadap korporasi dapat diberikan tindakan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu perusahaan. Sesuai dengan perkembangan ganti rugi juga dapat dijatuhkan pada korporasi sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian terhadap korban. Selain itu juga dapat dijatuhkan sanksi berupa pidana tambahan yaitu penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 (satu) tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan selanjutnya lahir berbagai ketentuan pidana khusus, yang mengatur korporasi sebagai subjek hukumnya, dengan merumuskan sanksi pidana untuk korporasi bervariasi, yaitu ada yang merumuskannya kumulatif-alternatif, alternatif dan merumuskannya tunggal. Korporasi sebagai badan hukum (rechtpersoon) tidak bisa dikenai tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon). Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya. Berdasarkan hal tersebut, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, tetapi harus ada pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Sehubungan dengan apa yang disebut di atas, maka korporasi yang melakukan tindak pidana tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan dan sejumlah tindakan. Walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu: Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu;Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;Pencabutan seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu. Khusus mengenai saksi penutupan atau penghentian kegiatan perusahaan perlu di pertimbangkan akibat-akibat yang dapat timbul dalam hubungannya dengan peranan-peranan perusahaan atau korporasi sebagai pemberi kerja. Sebab jika sanksi ini dikenakan terhadap korporasi, maka yang lebih terkena adalah para karyawan atau buruh perusahaan itu sendiri dibanding pengusaha atau pemilik perusahaan. B. Formulasi aturan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi saat ini Pada setiap undang-undang yang telah dilahirkan tentu masih belum sempurna, karena untuk melahirkan suatu undang-undang yang baik setidaknya harus memenuhi tiga unsur, yaitu: unsur sosiologis, unsur filosofis, dan unsur yuridis. Namun, dalam realitanya ketiga unsur tersebut sangat sulit untuk bisa terpenuhi semuanya. Bagitu juga dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dalam perubahan terakhir Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perumus undang-undang melakukan perluasan alasan penuntutan dengan memasukkan Korporasi sebagai subjek hukumnya. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi kebijakan hukum seperti itu perlu disambut baik, akan tetapi dalam perumusan pidananya itu sendiri perlu ditinjau ulang khususnya pidana terhadap korporasinya itu sendiri. Dalam hal ini kiranya perlu mendapat perhatian. Jika melihat rumusan pasal yang mengatur pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi tersebut hanya 1 jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan yaitu denda. Meskipun dalam hal ini pengurus korporasi tersebut juga dapat dikenakan pidana baik secara alternative maupun kumulatif bersama-sama dengan korporasi itu sendiri tapi hal tersebut bukan berarti masalah selesai sampai disitu mengingat korporasi tersebut telah dimakhlukkan di dalam undang-undang tersebut sehingga tidak terlepas dari pertanggungjawaban pidana, suatu ironi dalam dalam system penegakkan hukum pidana jika seorang direksi semata-mata yang harus mempertanggung jawabkan perbuatan sautu korporasi yang dipimpinnya, sedangkan hasil yang diperoleh dari tindak pidana itu sendiri mengalir ke dalam kas korp rasinya tersebut nota bane dinikmati bersama. Penentuan dan penerapan aturan pemidanaan terhadap korporasi saat ini harus segera dilaksanakan. Indonesia telah mengaturnya dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pertanggungjawaban pidana yang dianut dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi bersifat kumulatif-alternatif, dengan adanya kalimat “korporasi dan/atau pengurus” dalam rumusan pasal 20 ayat (1), maka untuk menuntut dan menjatuhkan pidana dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi dapat dilakukan terhadap “korporasi dan pengurus” atau terhadap “korporasi” saja atau “pengurus” saja. Untuk menjawab pertanyaan ini maka bentuk pertanggungjawaban yang dapat diberikan adalah dengan menggunakan various liability dan strict liability. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang di sembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Perubahan lain yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Bentuk rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dirumuskan sebagai : Various liability atau pertanggungjawaban pengganti atau diwakilkan. Artinya orang bisa bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 20 ayat 1 yang berkenaan dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi.Strict liability atau pertanggungjawaban pidana ketat atau pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan yang dalam hal ini ketentuannya terdapat dalam pasal 20 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena pelaku delik pidana yang terdapat di dalam UU. No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 adalah person atau manusia dan korporasi/badan hukum. Kedua bentuk atau rumusan pertanggungjawaban pidana tersebut dapat saling melengkapi. Sehingga dicantumkannya korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana merupakan langkah maju dari pembentuk undang-undang. Dengan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana akan memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas dan efektif mungkin. Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai subyek hukum dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yaitu manusia (alamiah). Dengan demikian korporasi dapat bertindak seperti manusia pada umumnya. Pada UUPTPK ini pengaturan pertnggungjawaban korporasi tercantum dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sepanjang mengenai proses dalam sistem peradilan pidana, UU No.31 Tahun 1999 telah mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korparasi, yang dinyatakan dalam Pasal 20, yaitu : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntuan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhaddap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana di maksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi tersebut di bawa ke sidang pengadilan.Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan untuk menghadap dan penyerahan surat pengadilamn tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporsi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Disamping pidana pokok tersebut, juga diatur pidana tambahan terhadap Korporasi yang melakukan tindak pidna korupsi sebagaimana diatur dalalam 18 Ayat (1) huruf a dan c, yang berbunyi3 : Huruf a : “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperroleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barangg tersebut”. Huruf c : “Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun”. Sebagaimana sudah dikemukan di atas bahwa dalam Pasal 20 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 sudah diatur tentang kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi yaitu : apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh orang-orang: Yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain;Bertindak dalam lingkungan korporasi ;Baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Pasal 20 tersebut memuat beberapa ketentuan yaitu: pertama, indikator kapan terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi yang tercermin dalam Pasal 20 ayat (2). Yang kedua, tentang hukum acaranya, tetapi masih sedikit memberikan keterangan yakni hal tuntutan penjatuhan pidananya sesuai Pasal 20 ayat (1), dan hukum acaranya pada Pasal 20 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Dan yang ketiga, mengenai pembebanan tanggung jawab pidananya dalam Pasal 20 ayat (7). Sehingga Undang-Undang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran atau teori pertanggungjawaban korporasi identifikasi serta teori aggregate. Teori identifikasi ditunjukan dari frasa: “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya” (Pasal 20 ayat (1) ) dan frasa “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20 ayat (2).
We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!
Have a great day!
Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support