by Lembaga Perlindungan Konsumen Mitra Sejahtera
January 9th 2020.

Sebagaimana sebuah produk hukum yang baru di undangkan, maka memang dibutuhkan waktu untuk mensosialisasikan produk hukum ini. Sebuah produk hukum mesti dilihat dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu mesti juga dilihat watak politis dari kehadiran sebuah produk perundang-undangan. Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma selama ini selalu merujuk pada PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, yang merupakan penerjemahan tekhnis dari UU Advokat. HUBUNGAN ADVOKAT DAN PEMBERI BANTUAN HUKUM Jika dalam UU Advokat, yang dimaksudkan dengan Pemberi Bantuan Hukum adalah Advokat maka dalam UU Bantuan Hukum ini, Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini”. Memang tidak semua Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan dalam konteks aturan ini bisa menjadi Pemberi Bantuan Hukum. Dimana di dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan: (1) Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. berbadan hukum;b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;d. memiliki pengurus; dane. memiliki program Bantuan Hukum.Hal diatas sangatlah berbeda pengertiannya dengan definisi Bantuan Hukum dalam UU Advokat. Pasal 22 UU Advokat berbunyi: (1) “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” Sehingga yang dititik beratkan dalam UU Bantuan Hukum adalah aspek kewajiban dan tanggung jawab negara melalui Kementerian terkait (Kemenkumham), namun dalam tekhnis pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat melalui Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang telah memenuhi syarat-syarat dalam Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan dibawahnya. Sedangkan dalam UU Advokat yang dititik beratkan adalah kewajiban seorang Advokat sebagai Officium Nobille. Walaupun demikian, UU Bantuan Hukum ini secara jelas menyebutkan posisi Advokat menjadi bagian dari Pemberi Bantuan Hukum yang dalam hal ini bernaung dalam wadah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan. Untuk itulah maka diharapkan tidak ada kesalahan penafsiran menyangkur Ruang Lingkup Pemberian Bantuan Hukum antara seorang Advokat dengan Pemberi Bantuan Hukum dalam konteks Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Prinsipnya adalah tanpa bernaung dalam Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan, seorang Advokat tetap memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi orang yang tidak mampu (miskin). Dalam konteks UU Bantuan Hukum ini bisa dikatakan bahwa untuk menjalankan fungsi seperti proses konsultasi, pendidikan hukum, investigasi maupun dokumentasi dapat dilakukan oleh pembela publik lainnya, namun untuk menghadap di persidangan tetap harus dilakukan seorang Advokat. Untuk mengatasinya biasanya dilakukan dengan merekrut Voluntary Lawyer, yaitu advokat yang menjadi relawan (part time) di organisasi bantuan hukum maupun Ghost Lawyer, yaitu advokat mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan persidangan seperti gugatan, jawab-menjawab dalam peradilan perdata, namun yang hadir/menghadap di persidangan adalah pencari keadilan sendiri. ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP UU Bantuan Hukum dilaksanakan atau diselenggarakan berdasarkan asas-asas bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ini berbunyi: 1. Keadilan 2. Kersamaan kedudukan di dalam hukum 3. Keterbukaan 4. Efisiensi 5. Efektivitas 6. Akuntabilitas Dalam penjelasan Pasal 2 yang dimaksud dengan asas-asas ini yaitu:1. Asas keadilan: Menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib.2. Asas persamaan kedudukan di dalam hukum: Bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum. 3. Asas keterbukaan: Memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional.4. Asas efisiensi: Memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada. 5. Asas efektivitas: Menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.6. Asas akuntabilitas: bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. UU Bantuan Hukum lahir atas tujuan-tujuan khusus sehingga tujuan dari Penyelenggaraan Bantuan Hukum termuat dalam bunyi Pasal 3 yakni: (1) Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan. (2) Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum (3) Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (4) Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan Ruang Lingkup Pemberian Bantuan Hukum tercantum dalam Pasal 4 dan pasal 5. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa: (1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum.(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.SYARAT-SYARAT BAGI PENERIMA BANTUAN HUKUMDalam UU Bantuan Hukum pengertian tentang Penerima Bantuan Hukum terdapat dalam Pasal 5 yang berbunyi:(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.Menurut penulis rumusan pengertian Penerima Bantuan hukum ini telah mengalami penyempitan makna dari “orang yang tidak mampu” menjadi “orang yang tidak mampu secara ekonomi”. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang atau kelompok tidak mampu lainnya, antara lain orang atau kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; Orang atau kelompok yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan; Komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-lain.Penyempitan makna ini jelas berbenturan dengan semangat Konstitusi, sehingga hal ini mesti di diskusikan kembali oleh para Pembuat dan Pengambil Kebijakan sebelum Undang-Undang ini diberlakukan.Penerima Bantuan Hukum yang diterjemahkan dengan orang orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, memang tidak begitu saja bisa memperoleh atau mengakses bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan. Hal ini bisa dilihat dalam syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat:a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; danc. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.Sementara itu syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi:(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum.(2) Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum.(3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.(4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan.(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.Syarat-syarat menjadi Pemberi Bantuan Hukum ini sebetulnya memiliki sejumlah kelemahan dimana dalam kenyataan akan tingginya praktek korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dan jabatan di Indonesia, maka yang kemudian bisa mengakses bantuan hukum ini adalah orang yang sebetulnya tidak layak.

Perkumpulan Lembaga Perlindungan Konsumen Mitra Sejahtera user

Lembaga Perlindungan Konsumen Mitra Sejahtera

lembagaperlindungankonsumenm@gmail.com
Search Website

Search

Subscribe

Newsletter

WhatsApp Google Map

Safety and Abuse Reporting

Thanks for being awesome!

We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!

Have a great day!

Are you sure you want to report abuse against this website?

Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support